Kata Pengantar Direktur WMC

en

kembali ke daftar isi

Pusat Mediasi Walisongo bukan hanya sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang penelitian tentang konflik, pelatihan, dan pengajaran tentang resolusi konflik, tetapi juga merupakan sebuah lembaga yang mengupayakan penyelesaian segala macam bentuk konflik secara damai. Ke­munculan lembaga ini merupakan respon terhadap khususnya situasi yang menyertai ambruknya rezim otoriter Orde Baru dan munculnya rezim yang menyebut dirinya reformasi. Rezim Orde Baru yang berwatak militeristik lebih mengedepankan pendekatan keamanan dalam setiap proses pembangunan. Konsekuensi dari pendekatan ini sering terdapatnya sejumlah pemaksaan yang disertai dengan tindakan-tindakan kekerasan. Demokrasi tidak berjalan. Rakyat menjadi objek daripada subjek pembangunan.

Ambruknya rezim Orde Baru pada akhir dekade 1990-an memberi ke­sempatan munculnya era demokrasi(tis) dan penguatan hak-hak sipil. Namun transisi dari era otoriter ke era demokratis ternyata tidak semudah yang di­bayangkan. Bagaimanapun pengalaman lama tak mudah untuk dilupakan dan begitu saja memakai yang baru. Artinya, transisi euforistis ini mem­butuhkan waktu yang lebih lama untuk benar-benar menjadi demokratis. Jika pada Orde Baru kekerasan banyak dilakukan oleh negara, pada rezim reformasi ke­kerasan banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Kekerasan itu banyak dipicu oleh perbedaan-perbedaan seperti per­bedaan etnis, agama, maupun pemahaman terhadap agama. Semua bentuk kekerasan itu membawa banyak korban. Konflik yang melibatkan ke­kerasan telah menyebabkan ribuan manusia meninggal dan ratusan ribu kehilangan harta dan terusir dari rumahnya. Suku Madura yang terusir dari Sambas dan akhirnya menetap di Kubu Raya di Kalimantan Barat merupakan dampak dari konflik etnis. Demikian pula penganut Ahmadiyah yang sampai sekarang belum bisa pulang ke rumah di Mataram, Nusa Tenggara Barat, adalah contoh lain. Mereka hingga kini masih tinggal di penampungan. Bahkan menurut kabar, mereka terancam diusir oleh pemerintah daerah untuk keluar dari NTB.

Kini, konflik kekerasan memang sudah tidak tampak dibanding beberapa tahun lalu. Namun bukan berarti sudah hilang sama sekali. Potensi konflik kekerasan masih sangat besar. Sejumlah konflik kekerasan itu hanyalah tiarap yang suatu saat, jika tidak dikelola dengan baik akan bangkit kembali sewaktu-waktu. Rumput masih kering, angin masih bertiup kencang. Se­men­tara api belum benar-benar padam. Rakyat masih miskin, pembangunan belum merata. Keadilan masih compang-camping. Provokator masih ber­gentayangan.

Dari uraian di atas, tampak ada pergeseran konflik kekerasan. Pada Orde Baru kebanyakan konflik melibatkan rakyat di satu sisi, dan pemerintah di sisi lain. Sebagai pemegang monopoli interpretasi atas realitas, pemerintah biasanya muncul sebagai pemenang, tentu saja dengan kekuatan ber­senjatanya. Namun pada era reformasi, konflik bukan lagi antara pemerintah dan rakyat, melainkan rakyat melawan rakyat. Dalam hal ini mayoritas melawan minoritas. Kaum mayoritas muncul sebagai pemenang. Secara geografis, suku Madura dan Ahmadiyah yang terlibat dalam konflik kekerasan di Indonesia adalah kelompok minoritas.

Saya melihat absennya kekerasan inilah saat yang tepat untuk meng­kampanyekan ide-ide maupun praktek non-kekerasan. Term non-kekerasan adalah sebenarnya sebuah filosofi yang menolak setiap bentuk kekerasan fisik. Pada prakteknya, term itu dilihat sebagai sebuah alternatif terhadap penerimaan dari segala bentuk penekanan maupun penggunaan senjata. Tujuan utama dari kampanye non kekerasan adalah terjadinya perubahan sosial dan politik. Dalam pengertian demikian itulah, maka itu dibedakan dari penerimaan pasif (pasifisme). Non kekerasan dan pasifisme memang sama-sama menolak terhadap penggunaan kekerasan, tetapi pasifisme lebih mengarah pada keputusan personal yang didasarkan prinsip-prinsip spiritual dan moral. Pasifisme tidak dimaksudkan bagi terjadinya perubahan sosial dan politik. Dengan demikian, secara teoritis, non kekerasan biasanya di­kam­panyekan manakala pihak-pihak yang terlibat dalam konflik memiliki hubung­an interdependensi fungsional dimana yang satu tergantung dari yang lain, seperti halnya pemerintah dengan rakyatnya.

Para pendukung gerakan non kekerasan percaya bahwa kerjasama dan persetujuan adalah akar kekuasaan politik, semua rezim termasuk institusi birokrasi, keuangan, dan segmen-segmen bersenjata dalam masyarakat (seperti angkatan bersenjata dan polisi); tergantung pada ketertundukan rakyatnya. Fungsi-fungsi instutional bisa berjalan manakala ada jaminan bahwa rakyat mau tunduk pada aturan-aturan. Artinya, perlu ada persetujuan dari rakyat. Jika kerjasama dan persetujuan absen, maka perjalanan institusional akan timpang, atau bahkan tidak berjalan sama sekali.

Bagaimana kalau konflik kekerasan itu antar kelompok dalam masyarakat dimana ketergantungan antar kelompok itu sangat minimal, atau bahkan mungkin tidak ada? Sebagai bagian dari ekspresi civil society, seruan untuk meniadakan atau menolak tindakan-tindakan kekerasan saya rasa universal. Ini adalah dalam rangka membangun dunia yang lebih beradab. Untuk itulah maka saya berharap buku ini menjadi pemicu kecil bagi terjadi perubahan-perubahan yang besar dalam perdamaian.

Semarang, 28 Juni 2009

Achmad Gunaryo

WALISONGO MEDIATION CENTER (WMC) Jl. Walisongo 3-5 Semarang Indonesia 50181 telp/fax +62-24-7622080 e-mail:iwmc_smgind@yahoo.com http://wmc-iainws.com/

en